Bukan caraku, bukan caramu. Aku tak menyangka kali pertama kita
bertemu. Aku juga sedang tak memikirkan untuk segera memiliki pasangan lagi.
Bagiku sudah cukup dan aku hanya ingin sendiri. Tapi di saat aku yang paling
terpuruk, kamu mampu untuk membacanya lewat mataku. Padahal aku begitu ahli
untuk menyembunyikannya dari orang lain, bahkan jika orang-orang di sampingku
tak ku beritahu, merekapun takkan pernah tahu. Rasa itu telah muncul dari awal,
dan kamupun tak segan untuk mengungkapkan rasamu padaku. Tapi maaf, kala itu
aku tak ingin untuk segera memiliki status denganmu. Aku bukanlah tipe orang
yang dengan mudah dapat segera menjalin hubungan dengan orang baru. Aku selalu
butuh waktu dan proses. Namun yang ku herankan darimu, kala itu kau tak
henti-hentinya mengejar. Sebalpun sering muncul saat kamu selalu ngotot dan
ngotot. Tapi tetaplah aku tak bisa. Waktu yang menguji cinta kita.
Tiga bulan tanpa kabar sesungguhnya adalah juga hari – hari yang berat
untukku. Bukan sepenuhnya inginku membiarkanmu, tak pernah menanggapimu. Ku
pikir, cara itulah yang terbaik untuk kita agar aku tak semakin menyakitimu.
Namun aku salah, semua cara itu menyakitimu bahkan juga menyakitiku. Saat kau
mengirim pesan, sebenarnya akupun juga tak kuasa untuk ingin membalas, namun
keteguhan itu menjadikanku sungguh acuh padamu. Sering pula aku melihat
handphone hanya ingin melihat apakah kamu masih menghubungiku ataukah tidak.
Aku pun bergulat dengan rasa rinduku yang sesungguhnya juga sangat besar
padamu. Namun mungkin memang akulah orang munafik yang pernah ada yang paling
pandai tuk menyimpan rasa.
Bulan Mei mungkin memang bulan terindah untuk kita. Bulan kelahiran
kita dan bulan yang mempertemukan kita. Kala kamu melihat iklan pengumuman di
jalan, dimana kamu tahu bahwa aku sangat mengaguminya, satu hal itu juga yang
memompamu untuk memiliki alasan untuk kembali bertemu denganku. Dan nyatanya
memang benar, dan kamu memang benar, akupun juga mengiyakan untuk datang karena
belum tentu berapa tahun lagi aku bisa melihat sang idola datang di kota kecil kita.
Cerita - cerita itu yang
kembali terulang untuk kita kenang saat kita hanya mampu berbincang via telpon
karena jarak memisahkan kita. Kaupun saat itu tak menyangka jika aku juga
menjawab ketika kau mengajakku untuk datang, walau saat itu kau hanya punya
harapan untuk dapat melihatku lagi. Akupun tak menyesal karena telah menjawab ya
untuk menjadi pasanganmu kala itu, walau kaupun sungguh masih tak menyangka. Mengapa
aku tak menyesal hingga sekarang? Dan yang aku harap sampai kapanpun aku tak
menyesal, karena kamulah yang mampu membuatku kembali tersenyum, kembali
bangkit dari sebuah keterpurukan yang sangat dalam. Kau mampu mengertiku lebih
dari mereka sebelumnya. Terimakasih cinta, kamu telah datang dan selalu ada
untuk menemani.